Jumat, 23 September 2011

Lemparan Batu Dan Pilihan




Setelah sekian lama dilanda gempa  yang cukup dasyat, kota Pensylvenia (bukan di Juking Sopan atau di Pantai laga. hehehehe...*Hureh or Kidding Only*) tapi  di Amerika Serikat Sonoo., mengalami Porak  poranda yang cukup hebat. Oleh sebab itu, pemerintah setempat  merencanakan untuk segera memulihkan kota. Suatu saat, mandor bangunan  yang memimpin renovasi pemulihan kota berjalan-jalan sambil melakukan pengawasan  terhadap pekerjaan perbaikan kota tersebut. Saking asyiknya berjalan, sang mandor lupa bahwa beberapa langkah di depannya terbentang kabel  listrik beraliran tinggi yang siap merenggut nyawanya.


Pekerja yang ada beberapa meter di belakangnya melihat bahaya yang mengancam sang mandor, mereka pun kemudian mencoba untuk mengingatkannya dengan teriak. Namun teriakannya nyaris tak terdengar ditelan  suara deru masin dan traktor yang ada di sekitar tempat itu. Demi menyelamatkan mandornya, pekerja tersebut mengambil  batu kecil dan melemparkannya  ke arah sang mandor hingga berdarah. Mandor kaget dan marah sambil  melihat ke belakang, siapa yang melempar kepalanya.  

Begitu sang mandor menoleh kebelakang, pekerja yang melemparnya tadi langsung angkat tangan  dan menunjuk ke arah kaki sang mandor.  Apa yang dilihatnya  membuat sang mandor shock dan kaget luar biasa, karena dua langkah ke depan kakinya akan menyentuh kabel listrik yang bertegangan tinggi. Untung ada pekerja yang melemparkan batu  ke arah kepalanya  untuk mengingatkan bahwa ada bahaya besar yang siap mengancam. Kepala sang mandor memang berdarah, namun nyawanya tertolong.

                
                 

 Terkadang, dalam kehidupan ini telinga kita sudah terlalu kebal terhadap suara-suara peringatan yang bertujuan membawa kita ke arah kehidupan yang lebih baik. Popularitas, ambisi, kesombongan, kekayaan, dan segala kompetensi yang dimiliki sering membutakan nurani dan menumpulkan ketajaman pendengaran kita terhadap alunan musik introspeksi yang merdu.

Ada kalanya seseorang harus “dilempar batu” dulu untuk memposisikannya kembali agar tidak terjerumus  lebih  jauh. Seorang rekan terpaksa  harus berurusan dengan pengadilan agar cara memasukan barang yang dilakukannya  tidak procedural. Seorang saudara harus bolak balik check up akibat sistem metabolisme tubuhnya sudah tidak seimbang. Seorang kakak kelas harus di grounded dari penerbangannya akibat kelalaian melakoni SOP (Standar Operasional Procedure). Bahkan seorang kolega sempat kehilangan orang yang dikasihinya akibat stress yang dimunculkan dari kurangnya cinta yang diberikan.

Beberapa contoh “lemparan Batu” itu membuat introspeksi untuk memposisikan kembali apa arti hidup dan tujuan bekerja yang sebenarnya. Itulah sebabnya setiap  “lemparan Batu” seyogyanya dimaknai sebagai bagian dari pengembangan kualitas diri yang optimal, sekalipun lingkungan  mungkin memaknai sebagai suatu kegagalan, kejatuhan, maupun kehancuran. Kita jadi teringat apa yang dikatakan Confusius, bahwa kemenangan kita yang paling besar  bukanlah karena kita tidak pernah jatuh, melainkan  karena kita bangkit  setiap kali jatuh.

Apa yang terjadi di depan kita, maupun di belakang kita sesungguhnya merupakan persoalan kecil dibandingkan dengan apa yang ada yang ada di dalam diri kita,” demikian Oliver Holmes menambahkan dalam salah satu narasinya.

Jadi, bukan peristiwanya yang penting, namun respon terhadap peristiwa itulah yang dapat memunculkan intisari pemaknaan  hidup yang sesungguhnya. Tanpa “lemparan batu” , yakni laboratorium Thomas Alva Edison terbakar, mungkin saat ini kita masih hidup dalam kegelapan. Kolonel Sanders pun harus mengalami “lemparan batu” bertubi-tubi berupa penolakan, hingga sekarang kita bisa menikmati gurihnya  Kentucky Fried Chicken. Bahkan Galileo Galilei harus kena “lemparan batu” yang telak (dihukum mati) sekedar untuk membuktikan bahwa bumi itu bulat.

Bagi mereka sebagaimana yang dikutip oleh pakar manajemen Peter F. Drucker, lebih penting melakukan yang benar daripada melakukan dengan benar. Ada harga yang harus dibayar.  Namun, harga itu tidak mahal tetapi memiliki nilai yang tinggi sebagai sumbangsih yang berharga bagi pemikiran dan inovasi sejarah umat manusia.
Ketika hari ini kita mendengar suara yang mengalun introspeksi merdu maupun merasakan “lemparan batu” yang begitu terasa menyakitkan, akankan dimaknai sebagai bagian dari dinamika hidup atau sebagai kejadian  yang harus dihindari..?

“Life is Choise” (hidup adalah pilihan), demikan klaim seorang filsuf. Tidak mengherankan, karena kita dihadapkan  pada pilihan-pilihan yang harus diputuskan, cepat atau lambat. Memaknai setiap “lemparan batu” pun merupakan suatu pilihan.

Kita yang memilih menjadi pegawai yang produktif atau tidak..?

Kita pula  dihadapkan  pada pilihan hendak  menjadi pemimpin yang melayani atau dilayani..?

Pilihan untuk menjadi kepala keluarga atau “dikepalai” keluarga..?

Pilihan menjadi ibu rumah tangga atau ibu kerumahtanggaan..?

 Hingga pilihan yang tidak kalah pentingnya adalah mau menjadi manusia yang berguna atau tidak.?

Sebab salah satu anugerah besar yang diberikan Sang Pencipta pada manusia adalah The Power of Choise (Kekuatan Untuk Memilih).
Selamat memilih jalan menuju pemaknaan hidup yang optimal..! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar